Artikel

Arys Hilman Nugraha : Harbuknas 2021 Momentum untuk Kebangkitan Literasi Nusantara

Lima tahun lalu, pada 2016, sebuah survei yang dilakukan Central Connecticut State University, AS, menempatkan indeks literasi Indonesia pada urutan ke-60 dari 61 negara yang disurvei. Indonesia hanya lebih baik daripada Botswana di Afrika dan satu tingkat di bawah negara jiran kita Thailand.

Dua tahun kemudian, pada 2018, ketika Kemendikbud menyelenggarakan survei serupa, data itu mendapatkan konfirmasi karena ternyata tidak ada satu provinsi pun di negeri kita yang memiliki indeks literasi baca tinggi. Hanya ada sembilan provinsi dengan indeks literasi sedang. Sementara, 24 provinsi memiliki indeks literasi rendah dan satu provinsi sangat rendah.

Seiring premis bahwa indeks literasi berbanding lurus dengan kemajuan suatu bangsa, kondisi itu sangat memprihatinkan. Merujuk pada UU No. 3/2017 tentang Sistem Perbukuan, literasi adalah kemampuan untuk memaknai informasi secara kritis sehingga setiap orang dapat mengakses ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai upaya meningkatkan kualitas hidupnya. Bangsa dengan indeks literasi tinggi menunjukkan minat yang tinggi terhadap ilmu pengetahuan, teknologi, inovasi, dan memiliki nalar kritis.

Kecerdasan literasi mempersyaratkan beberapa hal. Pertama, kecakapan membaca. Dalam hal ini, bangsa Indonesia telah memiliki modal yang kuat karena sebanyak 98,29 persen penduduknya telah bebas buta aksara latin. Namun, dalam indeks aktivitas literasi membaca, dimensi kecakapan juga mencakup lama masa sekolah dan dalam hal ini Indonesia tergolong sedang yaitu dengan nilai 55,08.

Syarat kedua kecerdasasan literasi ialah akses terhadap bahan bacaan. Dalam hal ini, kondisi Indonesia tidak menggembirakan. Dalam kategori perpustakaan sekolah, misalnya, ternyata tidak semua sekolah memiliki perpustakaan. Jumlah perpustakaan SD terdata sekitar 61,45 persen dari seluruh jumlah sekolah, tetapi hanya 19 persen di antaranya dalam kondisi baik; SMP sebanyak 76,25 persen dan hanya 22 persen dalam kondisi baik; SMA sebanyak 76,40 persen dan hanya 33 persen dalam kondisi baik; SMK sejumlah 60,34 persen dan hanya 27 persen dalam keadaan baik (Statistik Pendidikan Dasar dan Menengah 2016/2017, Kemendikbud).

Hasil Susenas BPS pada 2018 menunjukkan keterkaitan fasilitas perpustakaan itu terhadap kebiasaan membaca—yang ditunjukkan dengan tingkat kunjungan ke perpustakaan. Pada penduduk usia sekolah 7-18 tahun, tingkat kunjungan ke perpustakaan mencapai 42,74 persen. Ini ditemukan saat responden ditanya, “Apakah Anda mengunjungi perpustakaan dalam tiga bulan terakhir?”

Ketika pertanyaan yang sama disampaikan kepada warga berusia 31-59 tahun, tingkat kunjungan ke perpustakaan ternyata hanya 2,67 persen. Dari data ini dapat dipahami bahwa dengan tidak adanya perpustakaan di sekitar tempat aktivitas warga, kunjungan ke perpustakaan pun lebih sedikit terjadi. Apalagi, ketersediaan perpustakaan umum yang termasuk kategori baik baru sampai di ibu kota provinsi (97 persen) dan ibu kota kabupaten/kota (91 persen). Sementara, ketersediaan perpustakaan di kecamatan hanya 8 persen dan desa/kelurahan 26 persen.

Syarat kecerdasan literasi ketiga adalah budaya membaca. Upaya Kemendikbud mengadakan Gerakan Literasi Sekolah (GLS), mewajibkan siswa membaca buku apa saja di luar buku pelajaran, sesungguhnya dapat mendongkrak kebiasaan membaca. Namun, tanpa iringan langkah pembiasaan serupa di rumah-rumah, hal ini tampak menjadi sia-sia. Pada Susenas BPS 2018, terlihat nilai warga berusia sekolah jauh lebih tinggi dibandingkan warga di luar usia sekolah saat ditanya, “Apakah Anda membaca buku dalam tiga hari ke belakang?”

Dari tiga syarat pembangunan literasi di atas tampak bahwa perpustakaan memegang peranan penting. Kecakapan membaca tidak akan berarti manakala bahan bacaan sulit ditemukan. Masyarakat harus dipermudah untuk berkunjung ke perpustakaan (atau taman bacaan masyarakat/TBM) dengan mendekatkan fasilitas tersebut kepada masyarakat, sebagaimana berlaku pada anak-anak sekolah dengan perpustakaan sekolahnya.

Dengan demikian, perbaikan kelemahan perpustakaan di tingkat desa/kelurahan dan kecamatan harus menjadi prioritas. Perpustakaan harus ada sedekat mungkin dengan masyarakat. Apalagi Permendes Nomor 22 tahun 2016 tentang Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa tahun 2017 menyebutkan bahwa dana desa salah satunya diprioritaskan untuk pembangunan di bidang pendidikan, antara lain untuk membangun sarana PAUD dan perpustakaan desa.

Literasi baca tak tergantikan

Literasi yang kita kenal berasal dari bahasa Inggris literacy yang memiliki dua makna: Pertama, the ability to read and write. Kedua, competence or knowledge in a specified area. Selain bicara tentang baca-tulis, makna kedua kini lebih mengemuka, misalnya yang amat populer ialah literasi digital. Tidak keliru, namun menjadi berbahaya saat muncul persepsi bahwa literasi di bidang lain, misalnya digital, dapat menggantikan literasi baca-tulis.

Literasi baca-tulis bekerja melalui kata-kata dan itu berlangsung pada tingkat yang tak tertandingi oleh medium lainnya. Dengan kecerdasan literasi, kita menjiwai konsep merdeka belajar yang sesungguhnya karena kecerdasan literasi memiliki kemampuan pembebas.

Lebih dari 70 tahun lalu, penulis George Orwell memperkenalkan istilah Newspeak sebagai belenggu pikiran dalam novel berjudul 1984. Seorang Bung Besar dapat mengontrol masyarakat cukup dengan membatasi kata-kata yang bisa mereka pakai. Dengan keterbatasan kosakata, mereka tak mampu mengekspresikan pikiran, imajinasi, atau gagasan untuk menyampaikan akal sehat.

Larang saja istilah pendidikan kepada anak-anak sekolah. Hapuskan kata perjuangan dari buku-buku. Cabut lema merdeka dari kamus. Maka, akan lahir generasi baru yang gagap saat berbicara tentang kemajuan, mandek ketika membangun peradaban, dan takut kala ingin mengembangkan imajinasi.

Sebaliknya kita tahu bagaimana seorang guru memperkenalkan tiga kata kepada seorang Sukarno: merdeka, bangsa, dan negara. Sejarah kemudian mencatat, sang murid kemudian menjadi seorang proklamator kemerdekaan bangsa dan pendiri negara bernama Indonesia.

Keunggulan membaca

Saya perlu mengungkapkan sejumlah hasil riset tentang pentingnya kebiasaan membaca. Secara umum, kegiatan membaca dapat membangun ikatan dalam keluarga, meningkatkan empati, mendorong pertumbuhan otak, dan memperbanyak kosakata yang semua bermuara pada keberhasilan seseorang di masa depan. Kebiasaan membaca juga dapat membangun kemampuan komunikasi dan pengetahuan serta memupuk kecintaan untuk belajar

Orang yang gemar membaca memiliki keunggulan secara personal, profesional, maupun sosial. Sementara, orang yang kurang membaca memiliki risiko tinggi mengalami kegagalan dalam ketiga ranah tersebut. Membaca tidak hanya berkaitan dengan keberhasilan akademik maupun ekonomi, melainkan juga berkorelasi dengan perilaku positif dalam lingkup personal dan sosial.

Kebiasaan membaca lebih berdampak terhadap keberhasilan pendidikan seorang anak dibandingkan status sosial ekonomi atau gelar kesarjanaan orang tua. Orang yang suka membaca juga terbukti lebih berkontribusi terhadap masyarakat dibandingkan bukan pembaca. Mereka tercatat tiga kali lebih banyak pergi ke museum, menonton konser, atau membuat karya seni. Mereka juga dua kali lipat lebih banyak menjadi relawan dan beramal.

Buku, sebagai bahan bacaan, adalah sumber utama perubahan masyarakat ke arah kemajuan. Banyak saluran literasi terutama pada era digital ini, namun buku tak terkalahkan dalam banyak hal. Buku memberikan perubahan yang fundamental, lebih kuat dan mendalam, serta berdaya jangkau jauh ke depan.

Kita mengenal banyak buku penggerak dunia. Pada pertengahan abad ke-19, Uncle Tom’s Cabin karya Harriet Beecher Stowe mengguncang Amerika dan mengakibatkan penghapusan perbudakan di negara itu. Di Nusantara, kisah Saijah dan Adinda pada bab keenam Max Havelaar karya Multatuli membangkitkan pergerakan bangsa dan membangun pemahaman orang-orang Eropa bahwa kolonialisme ternyata tidak baik-baik saja. Lalu pada awal abad ke-20, sebuah buku berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang yang berisi kumpulan surat-surat RA Kartini menginspirasi emansipasi perempuan di Tanah Air, hingga kini.

Buku juga membangun kekayaan pengetahuan, perilaku, dan imajinasi. Berikan buku Max Havelaar kepada 514 bupati/wali kota, maka akan ada 514 persepsi dan interpretasi tentang penindasan dan cita-cita kepemimpinan. Bagikan novel Sampar karya Albert Camus kepada seribu mahasiswa, maka akan lahir seribu imajinasi dalam memahami wabah dan relevansinya dengan pandemi di masa kini. Bacakan Nashaihul Ibad karya Syekh Nawawi Al-Bantani kepada sejuta santri, maka akan tampak sejuta karakter hamba dalam menerima nasihat ulama dan mewujudkannya dengan kesucian hati, kebersihan jiwa, dan kesantunan budi pekerti.

Lilin yang menerangi

Hari ini kita mengawali sebuah Festival Hari Buku Nasional (FHBN) hingga empat hari ke depan. Penghargaan setinggi-tingginya kepada Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) yang meyakini pentingnya acara ini sehingga bersedia menjadi tuan rumah. Apresiasi juga kita berikan kepada Pemerintah Provinsi Banten yang sejak awal menyambut positif gagasan kegiatan ini dan memberikan dukungan kuat bagi penyelenggaraannya. Hormat kita kepada Pusat Kurikulum dan Perbukuan (Puskurbuk) Kemendikbudristek yang bersedia membuka pintu sinergi untuk kegiatan ini. Juga angkat topi untuk korporasi di Banten yang menyadari bahwa tanggung jawab sosial perusahaan juga berlaku di bidang literasi.

Acara ini berangkat dari keyakinan tentang perlunya perbaikan besar ekosistem perbukuan yang berkelindan dengan kemajuan literasi. Keterlibatan menyeluruh penerbit, penulis, pegiat literasi, korporasi dengan CSR-nya, pemerintah daerah, perpustakaan, sekolah, pesantren, dan perguruan tinggi dalam penyelenggaraan kegiatan ini diharapkan dapat membentuk ekosistem yang sehat dan berkelanjutan. Kita ingin mengantarkan buku kepada masyarakat.

Semoga cita-cita kita membagikan sejuta buku untuk masyarakat Banten dapat terlaksana, sehingga dari kampus yang megah ini akan lahir masyarakat literat yang menjadi keniscayaan sebuah kemajuan. Buku adalah barang berharga.

Konon hanya orang bodoh yang mau meminjamkan buku kepada orang lain. Namun, lebih bodoh lagi orang yang mengembalikan buku pinjaman.

Di Banten, para penggerak literasi mungkin tidak peduli dengan gelar itu. Anda semua justru meminjamkan bahkan membagi-bagikan buku demi membebaskan masyarakat dari kebodohan. Seperti prinsip duta baca nasional kita, Gol A Gong, yang memilih bergerak daripada mengomeli rendahnya perhatian terhadap literasi. Daripada merutuki kegelapan, para pegiat literasi Banten lebih memilih menjadi lilin; Anda menerangi, walau sadar diri akan terbakar.

Anda semua sedang mencatat kebangkitan literasi, menuliskannya dalam manuskrip bernama Festival Hari Buku Nasional. Insyaalllah, verba volant scripta manent. Anda tidak sekadar berkata-kata, melainkan menuliskan sejarah—dan itu lebih abadi. Anda semua mewakafkan tenaga, waktu, dan pikiran untuk acara ini. Universitas, pemerintah daerah, dan DPRD mendukung dengan sepenuh hati, bahkan sedang merintis pula perda perbukuan pertama di negara kita.

Anak cucu kita, suatu ketika, akan membaca semua itu, sebagaimana kita sekarang membaca kealiman Syekh Nawawi dan kepeloporan Prof Husein Jayadiningrat.(red)

Anda mungkin juga suka...

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *